Sunday, June 12, 2011

Pendidikan


Pendidikan

Hari ini secara tidak disengaja aku termenung dan bertanya-tanya mengenai substansi dari pendidikan itu sendiri, aku pun berdiskusi dengan teman-temanku mengenai pemikiranku selama ini, khususnya berdiskusi dengan reinhart dan disitu ada adhoy dan dino. Secara filosofis, pendidikan merupakan hal yang tidak bisa ku mengerti sepenuhnya. Apa itu mendidik dan perbedaannya dengan mengajar. Pendidikan dengan pengajaran merupakan suatu substansi yang berbeda, lantas apa perbedaan itu? Selanjutnya apa perbedaan antara pendidikan informal dengan formal?Berbagai pertanyaan seputar pendidikan pun terus terlontar dalam benakku dan mulutku, sehingga reinhart pun sedikit kebingungan dengan semua pertanyaan-pertanyaan yang ku deraskan padanya.

Menurut Reinhart, Sarjana satu adalah tempat untuk menyerap ilmu, sebagai tempat riset dan bukan tempat untuk mendapatkan kerja. Lebih parahnya lagi, pendidikan melalui institusi pendidikan mempunyai tujuan untuk mencetak para pekerja yang dipersiapkan untuk kepentingan industri. Apakah sebegitu parahnya sebuah ideologi kapitalisme yang bisa merenggut entitas dari sebuah pendidikan?Tidak terelakkan lagi bahwasanya pada sekarang ini, pendidikan mempersiapkan sarjana yang menikmati bangku kuliah itu untuk masuk dalam kawasan industri, begitulah faktanya. Apakah pendidikan diluar negeri sana memiliki problematik yang sama?

Dalam pemikiran ku yang menurutku menggunakan pola pikir ekonomi yang disebut cost and benefit ratio, dimana energi/pengeluaran kita sedikit tetapi menghasilkan keuntungan yang luar biasa atau dapat kita sebut dengan efisien. Kita ambil contoh belajar akuntansi untuk 4 semester dan satu semesternya adalah 3 sks, maka untuk belajar akuntansi saja aku menghabiskan waktu sekitar 3600 menit atau sekitar 60 jam dalam satu semesternya dan artinya jika selama 4 semester maka aku menghabiskan waktu 240 jam. Dengan pola pikirku, dengan waktu 240 jam,apa yang bisa aku peajari dalam hidupku dan itu lebih berharga (worth it). Mungkin aku terkadang menganggap bahwa pelajaran akuntansi tidak berguna bagi hidupku, tetapi lagi-lagi ada suatu kata mutiara yang mengatakan bahwa didunia ini tidak ada yang sia-sia kecuali manusia itu sendiri yang mensia-siakan. Seandainya aku mau mengikuti kata-kata mutiara tersebut, lantas dengan waktu 240 jam aku bisa belajar akuntansi secara efektif dengan metode yang seperti apa?yang dimana ilmunya bisa ku dapat tetapi dengan metode yang tepat bagiku atau dengan waktu yang relatif lebih singkat. Itu baru akuntansi, hanya salah satu contoh dari sekian banyak contoh mata kuliah atau pelajaran yang terus kita ulang-ulang dan juga kita anggap bahwa ini tidak seharusnya kita menghabiskan waktu untuk itu dengan cara seperti itu. Aku hanya ingin mempelajari yang aku butuhkan saat ini, aku yakin bahwa pengalaman akan mengajarkan kita banyak hal, toh para sarjana itu mengahabiskan waktu dibangku kuliah pada akhirnya juga harus berjibaku dengan pengalaman baru dan mempelajari ulang apa yang dia pelajari di bangku kuliah. Jika ingin mengubah pola pikir, maka dengan terjun langsung ke lapangan akan menjadi salah satu metode yang cukup efektif agar kita bisa berkompeten dalam bidang tersebut karena kita sudah mengalami langsung di situasi nyanya.

Pertanyaanku, apakah pelajaran semacam IPA dan akuntansi berefek besar terhadap perjalanan karir seperti seorang Soekarno?aku suka berpikir, hal-hal apa saja yang dipelajari beliau sehingga bisa menjadi orang hebat seperti itu. Beliau dikenal sebagai orang yang cerdas dan memiliki mentalitas yang super hebat, sungguh pribadi yang berkarakter. Jika memang softskill sangat dibutuhkan untuk jaman sekarang ini dan softskill dapat memunculkan orang-orang seperti Soekarno, mengapa kemampuan EQ maupun softskill mendapat jatah porsi penghargaan lebih sedikit dibandingkan dengan porsi akademik? Lantas apa maksud dari semua ini? Carut marut pendidikan khususnya pendidikan Indonesia yang seperti benang kusut, harus sesegera mungkin diurai secara perlahan-lahan agar menemui titik temu, suatu POLA PENDIDIKAN YANG IDEAL!Pendidikan untuk menciptakan karakter bangsa seperti yang sudah dilakukan oleh Ir.Soekarno masih dibutuhkan untuk saat ini,Maju Indonesia!!



sumber foto : kompas

Friday, June 10, 2011

Entrepreneurship is about strategy

Warung Makan Disekitar Kostku

Hari ini aku merenungkan sesuatu mengenai lingkungan sekitarku dimana warung makan bertebaran dimana-mana. Perkiraanku setelah aku hitung-hitung, sekitar kostku bisa mencapai 12 warung makan dilokasi yang tidak begitu jauh, semuanya saling berdekatan dan menurut ku pangsa pasar mereka kurang lebih sama, yakni mahasiswa dan mahasiswa yang ngekost didaerah sekitar pringgodani ini. Ada begitu banyak orang yang berlomba-lomba untuk menjadi wirausahawan yang dimana sekarang ini sangat santer didengungkan kampanye-kampanye seputar dunia bisnis, wirausahawan dan cara menghasilkan uang dengan berbagai metode. Saat ini para praktisi bisnis maupun pemerintah sangat gencar membuat usaha mikro diIndonesia berkembang pesat.

Yang jadi pertanyaanku adalah mengenai keefektifan metode wirausahawan ini seperti apa?aku masih merasa ambigu dengan tema wirausaha, karena aku bingung dengan nasib mereka kedepannya. Mari berbicara realistis dan kenyataannya dengan sedikit menggunakan contoh real sebagai analogi pemikiranku.

Teteh yang bewirausaha burjo memiliki satu suami, satu anak dan satu orang sepupu yang bekerja untuknya, mungkin sebelum menjamurnya warung makan, kehidupannya berjalan baik (segi ekonomi), entah bisa makan 3x sehari, anaknya dapat sekolah dengan lancar dan kebutuhan sehari-hari dapat terpenuhi. Lalu muncul Pak Kuni yang mulai berwirausaha warung makan sekaligus warung kecil didepan kostku. Menurutku, tanggungan dia adalah harus menghidupi satu anak, satu istri dan membantu satu orang ibu dan anaknya dimana dia adalah kakak kandung dari istri Pak Kuni. Lalu, dengan berwirausahanya pak Kuni dan berbagai orang yang mencoba membuka warung makan dilahan yang tidak berbeda jauh, bagaimana dengan pendapatan mereka. Dapat kulihat dengan jelas bahwa warung makan/ burjo dari Teteh mulai sepi pengunjung dan kita tak pernah tau apa efek domino dari semua penyebab ini. Mungkin saja teteh mulai mengalami kesulitan membiayai sekolah anaknya karena omset wirausaha mereka yang menurun, dan bagaimana dengan nasib pak Kun dan sejumlah wirausahawan lainnya disekitar situ dimana mereka harus berbagi pelanggan dan rezeki pada orang lain dan bisa jadi pendapatan yang mereka terima sekarang ini jauh dari kata cukup.

Ironisnya lagi bahwa aku yakin bahwa salah satu dari warung makan diIndonesia ini atau kita persempit lagi, sekitar kostku ini, karena mereka sepi pengunjung atau persediaan barang dagangan tak kunjung dijual, sehingga makanan-makanan tersebut harus dibuang sebagian atau bahkan seluruhnya, padahal pada saat ini banyak sekali gelandangan dan kaum papa lainnya sedang berusaha mati-matian untuk mencari makan dan memenuhi gizi mereka. Suatu paradoks dimana ada makanan yang berlimpah harus dibuang karena basi dan harus ada kaum miskin yang berjuang pagi-siang-malam untuk mencari sesuap nasi bagi keluarganya. Apakah ini yang dimaksud berwirausaha?dimana sedang gencar-gencarnya dikampanyekan?

Pendapatku pribadi, mungkin pendapat ini akan sangat mengena untuk kalangan mahasiswa-mahasiswi dan kaum intelek lainnya untuk berwirausaha. Menurutku, berwirausaha yang bijak adalah dengan membuat suatu kerajinan, karya, inovasi, penelitian yang pangsa pasarnya adalah negara-negara luar Indonesia atau setidaknya orang-orang yang memang membutuhkan produk tersebut diIndonesia. Setidaknya menurutku, ini akan menyeimbangkan neraca perekonomian kita dan bisa berwirausaha ala bijak versi aku.